Permasalahan terkini dalam GENDER



Permasalahan Terkini dalam Gender
Kategorisasi Permasalahan :
Apakah anda masih setuju pada ketidakadilan terhadap perempuan ?
 Masih adakah kelima akibat dikotonomi pada perempuan ? jika ada beri alasan!
 Apa yang seharusnya dilakukan perempuan agar perempuan tidak mengalami ketidakadilan?
Analisis :
Tidak, karena ketidakadialan terhadap perempuan sangat berpengaruh dalam segala bidang kehidupan mulai bidang sosial budaya, ekonomi, dan politik. Tingkat pengangguran terbuka perempuan tahun 2012 mencapai 6,77%, sementara laki-laki 5, 75%. (BPS-RI ). Data ini menggambarkan bahwa cukup  banyak   perempuan usia kerja yang tidak mempunyai pekerjaan produktif, dan ini berarti bahwa mereka  secara ekonomis tidak mempunyai penghasilan  yang  bisa disumbangkan untuk kebutuhan keluarganya.  Kondisi rumah tangga yang demikian ini biasanya rentan terhadap kemiskinan secara ekonomis.  Selain hal tersebut di atas, struktur budaya patriarkhi juga melahirkan keterbatasan perempuan dalam hal pengambilan keputusan baik di dalam keluarga maupun di masyarakat. Sistem politik yang ada di Indonesia juga ikut meminggirkan (memarginalisasikan) kaum wanita dengan aturan-aturan dan penafsiran yang kebanyakan dibuat oleh kaum laki-laki sehigga mereka hanya melihat dan mempertibangkan suatu aturan berdasarkan sudut pandang mereka sebagai laki-laki.
Masih ada, hal ini terbukti dengan adanya beberapa fakta berikut :
1.      Bahwa hukum dan teori hukum secara empiris merupakan domain laki-laki, karena merekalah yang menuliskan hukum dan teori-teori hukum. Hal ini nampak dari para ahli teori hukum kebanyakan adalah laki-laki dan mengemukakan teorinya dari sudut pandang laki-laki.
2.       Bahwa hukum dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh hukum adalah refleksi dari nilai-nilai maskulin. Sebagai akibatnya hukum seolah-olah hanya bicara untuk laki-laki dalam kultur yang dominan tersebut, tapi tidak berbicara atas nama perempuan atau kelompok terpinggirkan lainnya. Hal ini misalnya nampak dari putusan-putusan hakim terhadap kekerasan sekual pada perempuan dengan kecenderungan sanksi yang rendah, dengan asumsi bahwa korban berperan serta atas terjadinya tindakan tersebut, dengan menafikan persepsi korban.
3.       Secara tradisional, teori hukum adalah patriarkhi karena seringkali berisikan sesuatu yang menggambarkan karakter umum dari hukum di mana hukum sesungguhnya tidak netral dan seringkali digunakan oleh orang-orang yang memiliki pengalaman dan kuasa untuk menekan orang lain, termasuk terhadap perempuan. Hukum akan cenderung berpihak pada kelompok dimana ideologi dan budaya tersebut berasal, misalnya dalam hukum perkawinan, perceraian, perkosaan menurut konsep KUHP, dan lain-lain.
 4.  Legitimasi budaya dalam konstruksi gender
Dalam membahas status dan peran laki-laki dan perempuan, masyarakat mengenal dua bentuk budaya yaitu patriarkhi atau patrilineal dan matriarkhi atau matrilineal. Pada budaya patriarkhi misalnya budaya Batak, lebih mengunggulkan laki-laki dari pada perempuan, sedangkan pada budaya matriarkhi misalnya budaya Minangkabau lebih mengunggulkan perempuan. Kedua budaya tersebut sama-sama tidak menguntungkan kedua belah fihak karena salah satu memiliki status, peran, kekuasaan, wewenang dan hak-hak yang lebih dominan dari jenis kelamin lainnya.
5. Adanya pemberian Label
          Pemberian label yang selama ini ada dalam konstruksi masyarakat belum bisa hilang, dan melekat dalam pemikiran masyarakat yang mengangap bahwa segala pekerjaan domestik adalah label dari wanita dan publik adalah label pria. Sehingga wanita bekerja sepanjang hari bahkan sepanjang hidup mereka untuk mengabdi pada suami dan mengurus pekerjaan rumah tanpa ternilai rupiah layaknya seorang laki-laki bekerja diluar rumah.
Agar perempuan bisa terbebaskan dari ketidakadilan akibat dikotomi maka ada beberapa cara yang bisa dilakukan :
1.    Untuk dapat merealisasikan kesetaraan dan keadilan gender bagi difabel perlu dilakukan dengan capacity building, cultural change dan structural adjustment tentang kesetaraan dan keadilan gender kepada penentu kebijakan (pemerintah), non pemerintah atau LSM dan aktivis-aktivis pembela kepentingan kaum marginal (khususnya difabel) dan perempuan, masyarakat (difabel dan non difabel) khususnya perempuan (difabel dan non difabel). Program dan kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan sosialisasi, advokasi, dan pelatihan sensitivitas gender. Capacity building bermakna membangun kemampuan perempuan; cultural change yaitu perubahan budaya yang memihak kepada perempuan; structural adjustment adalah penyesuaian struktural yang memihak perempuan (Handayani & Sugiarti, 2002 ).
2.    Keluaran (out put) program dan kegiatan tersebut diatas adalah peningkatan kapasitas tentang hal-hal yang berkaitan dengan sensitivitas gender, perubahan kultural dan penyesuaian struktural yang mendukung peran perempuan (khususnya difabel) dalam masyarakat sehingga perempuan difabel diharapkan akan mampu meningkatkan : kesejahteraan, akses, penyadaran, partisipasi dan kontrol perempuan difabel di segala aspek pembangunan.
3.    Perlu adanya kebijakan pemerintah yang responsif difabel dan perempuan artinya kebijakan yang memihak dan melindungi perempuan (difabel).
4.    Berkaitan dengan pembakuan peran gender dalam keluarga difabel perlu digarisbawahi bahwa hubungan sejati sesungguhnya adalah hubungan tulus yang menampilkan sikap-sikap perhatian, tanggung jawab, rasa hormat dan pengetahuan. Maka ukuran hubungan sejati ialah seberapa jauh hubungan tulus kita mampu mendorong kemajuan dan kebahagiaan bersama baik bagi kita sendiri maupun pasangan kita. Biasanya hubungan demikian akan muncul dalam bentuk saling berbagi tanggung jawab baik tugas dirumah maupun diluar rumah, saling mendukung, serta saling mengerti keadaan masing-masing. Hubungan inilah yang kita sebut sensitif gender. Sensitif gender berarti peka akan aspirasi, kebutuhan, beban dan keadaan pasangan kita. Juga, menjauhi cara-cara kekerasan baik dalam berkomunikasi maupun dalam berperilaku. Oleh karena itu perlu adanya sensitivitas gender dalam setiap keluarga termasuk keluarga difabel.
5.  Kaum peremuan perlu meningkatkan keaktifannya dalam mengikuti kegiatan sosial dengan masyarakat, jadi tidak hanya aktif bersosialisasi dengan kelompok sesama difabel sehingga wawasan dan pengetahuan tentang norma bermasyarakat semakin berkembang.
6. Kaum perempuan harus memiliki wadah atau front untuk menyalurkan aspirasi, namun tak berhenti pada tataran demikian, setelah adanya gerakan kemudian akan kemanakah pergerakan itu dibawa dan hak seperti apa yang sebenarnya ingin dituntut dan disamaratakan denga kaum laki-laki. Hal ini harus jelas agar dalah prosesnya nanti mampu memberikan dampak yang baik serta alur yang jelas pula.

Comments

Popular posts from this blog

Syarat uji korelasi

Pengantar Kesarinahan

Definisi konsep Perencanaan sosial