Pengantar Kesarinahan

Kesarinahan
Oleh-
Sarinah Nurhayati
(Mahasiswa Ilmu Sosiatri  STPMD "APMD" Yogyakarta & Kader Komisariat  GMNI (APMD)

Soal Perempuan adalah Soal Masyarakat
            Jika Sarinah dihadirkan oleh Soekarno sebagai upaya mengangkat diskursus soal perempuan. Pertanyaannya, persoalan apa yang menimpa atau terjadi pada perempuan? Jawabannya tentu saja adalah persoala perempuan yang ‘dikesampingkan’ dari masyarakat. Perempuan yang selalu dianggap inferior di bawah laki-laki. Singkat kata perempuan yang tertindas dengan posisinya dalam gender. Akan tetapi, sebelum membahas lebih jauh akar ketertindasan perempuan, lebih baik kiranya kita melihat duduk perempuan seharusnya dalam masyarakat. Barulah kemudian dapat dilihat dan dipahami dimana seharusnya soal perempuan ditempatkan dalam kehidupan bermasyarakat.
            Soekarno tidak pernah melihat perempuan dan laki-laki sebagai suatu entitas yang yang terpisah sama sekali. Bagi Soekarno keduanya harus dipandang sebagai manusia. Anggaplah manusia itu sebagai koin mata uang, maka perempuan dan laki-laki adalah kedua sisinya yang sama sekali tidak bisa dipisahkan. Apabila ada satu sisi yang terpisah, dianggap sebagai ‘yang lain’, diistimewakan, di saat itu pula koin tersebut belum menjadi koin yang utuh. Artinya ada persoalan yang menghawatirkan dalam kemanusiaan.
            Mengutip ungkapan Baba O’Illah (Hal 11; Sarinah) , bahwa “laki-laki dan perempuan adalah sebagai sayapnya seekor burung”, Soekarno hendak membuktikan perempuan dan laki-laki tidak bisa dipisahkan sebagai bagian dari masyarakat adalah bagian dari manusia. Bahkan tidak hanya berhenti di situ, Soekarno pun membuktikan dari runtutan historis dan data di pelbagai negara untuk mencapai kesimpulan perempuan dan laki-laki tidak bisa hidup satu dan yang lain.       
            Dari pandangan demikian, berkonsekuesi logis pada pandangan Soekarno terhadap persoalan perempuan yang tidak bisa dilihat secara terpisah sebagai persoalan masyarakat. Soal perempuan adalah soal masyarakat. Hal ini dapat diperkuat dari makna persoalan gender. Sejauh persoalan perempuan dipandang sebagai persoalan gender, maka persoalan perempuan berarti adaah persoalan sosio-kultural dan oleh karenanya pasti persoalan masyarakat. Melihat persoalan perempuan terlepas dari persoalan masyarakat hanya akan mempertajam keretakan dalam kemanusiaan itu sendiri. Sudah pasti pula, akan sulit menemukan solusi yang ingin diajukan.
            Dengan demikian, dapat dipahami kenapa kemudian Soekarno menolak gerakan feminis (baca: feminis liberal). Dalam buku Sarinah (Hal. 152) Sukarno mengkritik ucapan dari pemimpin Kaum feminis Nonya Itallie van Embden; Bahwa, kemudian Kaum Feminis (Gerakan Perempuan di Eropa) tampak lari dari kenyataan. Mereka meminta hak untuk pekerjaan, namun toh ketika bekerja, pekerjaan itu akan dilepaskan lagi karena ia akan memilih mengurus anaknya. Karena itu feminisme memang tidak mampu memecahkan soal. Oleh karena itu, dikalangan feminis sendiri kemudian lahir kaum neo-feminisme. Mereka bermaksud mengoreksi feminisme, namun koreksi mereka malah makin salah. Sebab diterangkan bahwa pokok neo-feminisme ialah pengakuan lebih dahulu bahwa tujuan hidup perempuan ialah (bagaimanapun juga) suami dan anak. Maka neo feminis bermaksud mendidik dan mempersiapkan perempuan agar sempurna dapat mengerjakan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Neo feminisme tidak mengutamakan lagi pekerjaan dan persamaan hak. Gerakan ini kelihatan seperti gerakan tingkat kesatu. Pergerakan perempuan tampak seperti terlempar kembali ke duaratus tahun yang silam. Hal ini merupakan suatu pertanda ketidakmampuan gerakan untuk memecahkan persoalan.
            Bagi dia, gerakan feminis tidak dapat menyelesaikan persoalan perempuan, karena masih memandang persoalan perempuan sebagai persoalan yang terlepas dari persoalan masyakarat. Feminisme memandang persoalan perempuan sebagai persoalan perempuan semata. Akibatnya, feminisme tidak dapat menemukan kontradiksi dalam masyakarat yang membentuk ketertindasan kaum perempuan itu sendiri.
Sejarah Ketertindasan Perempuan: Motif Ekonomi
            Jika perempuan dan laki-laki terikat secara kodrati, lantas mengapa terjadi ketertindasan terhadap perempuan? Mengapa pula, harus melihat persoalan perempuan sebagai persoalan masyarakat, bukankah masyarakat pula yang mengakibatkannya? Bukankah dalam hal ini yang tertindas adalah perempuan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, diperlukan mengikuti analisis yang juga digunakan oleh Soekarno dalam Sarinah. Dalam Sarinah, Soekarno menggunakan analisa materialisme

historis. Ia mengikuti pemikiri-pemikir besar Marxisme dalam melihat persoalan perempuan, seperti August Babel, Henriette Roland Holst dan Friedrich Engels.
            Materialisme historis memiliki premis dasar bahwa sejarah manusia dibentuk oleh sejarah material dengan dikutum basis (ekonomi) yang mengkondisikan suprasrtuktur (kesadaran, politik, budaya, dll).[1] Dari kerangka ini kemudian Soekarno menganalisis dan menemukan akar sebab ketertindasan perempuan. Perempuan dan laki-laki pada mulanya hanya dibedakan oleh bentuk fisik. Akan tetapi kemudian menjelma menjadi persoalan Gender, dimana perempuan ‘disingkirkan’, akibat pembagian kerja. Berbeda dengan Engles[2] yang mengemukakan tesis

bahwa keterindasan perempuan diawali dari munculnya konsep kepemilikan pribadi. Soekarno dalam hal ini mengikuti August Babel yang berpendapat bahwa ketertindasan perempuan sudah dimulai semenjak pembagian kerja paling awal, yakni pembagian kerja berdasarkan pada jenis kelamin. Dari pendapat tersebut, Soekarno menyepakati ungkapan Babel: “perempuan adalah budak, sebelum ada budak” (Hlm. 46). Akan tetapi, keduanya baik Engles maupu Babel (begitupun Soekarno) berangkat dari tesis yang sama: persoalan perempuan dibentuk oleh motif ekonomi.
            Manusia pada taraf sejarah pertama hidup dengan berburu, dan karenanya menjadi berpindah-pindah (nomaden). Di sini perempuan sudah ditindas, dengan dibiarkan berdiam di gua (tempat persinggahan sementara), karena perempuan dipandang lemah sehingga hanya layak untuk berdiam ‘di rumah’ tanpa harus ikut mencari nafkah untuk penghidupan. Perempuan hanya dilihat dari fungsi seksualnya saja, yakni sebagai pelayan birahi laki-laki, hamil, melahirkan, menyusui. Tugas untuk berburu dan bertarung dengan hewan buas hanya menjadi tugas yang tersematkan di laki-laki. Di sinilah awal mula ketertindasan perempuan telah dimulai. Yang melatar belakanginya, tentu saja motif ekonomi.
            Masa perburuan yang mengharuskan nomaden lambat laun diganti oleh corak yang lain, yakni pertanian. Pergantian perburuhan oleh pertanian, Soekarno mengikuti pendapat dari Dr. Fleure yang menyatakan pertanian lebih dahulu dari perternakan (Hlm. 48). Di masa pertanian inilah, kedudukan perempuan sempat terangkat. Sebabnya, perempuanah yang memulai pertanian itu sendiri. Perempuan yang selalu ditinggal ‘di rumah’ di masa perburuhan, mengakibatkan perempuan memiliki banyak waktu luang untuk melakukan ‘eksperimen’. Di sinilah, kemudian perempuan menemukan cara bercocok tanam, memintal serat pohon menjadi pakaian, membuat rumah, dan berkesenian. Soekarno menyebut perempuan sebagai induk kebudayaan (Hlm. 49). Inilah masa yang kemudian disebut dengan matriarki.
            Di masyarakat matriarki, perempuan memiliki kedudukan yang sangat istimewa. Dari yang awalnya—pada masa perburuhan—dia inferior di bawah laki-laki menjadi superior di atas laki-laki. Hal ini dikarenakan, perempuan yang menguasi produksi ekonomi. Perempuan yang memahami dan melakukan cocok tanam. Dari hal ini pula, anak ditentukan garis keturunannya dari garis Ibu.  
            Masa bercocok tanam kemudian diikuti oleh pengembangan perternakan oleh laki-laki.  Karena sudah menemukan cara hidup yang menetap, laki-laki yang awalnya berburu pun membawa hewan buruannya tersebut untuk diternak. Perternakan pun kemudian duduk
disamping pertanian. Bahkan kemudian laki-laki memborong pertanian dan pertenakan itu. Sehingga, laki-laki pun memiliki kontrol dan peranan kembali terhadap produksi. Di sinilah, kemudian masa matriarki dihentikan dengan ditandai oleh ketidakpuasan laki-laki atas garis keturunan dari Ibu. Garis keturunan kemudian ditentukan dari garis Bapak. Dengan demikian, hak waris anak ditentukan dari garis Bapak pula dan perkawinan kelompok diubah menjadi perkawaninan tunggal, agar memudahkan penentuan garis keturuanan. Seorang perempuan hanya bisa bersuami seorang laik-laki. Mulai saat ini, matriarki diganti oleh patriaki
Sejarah Pergerakan perempuan
Paradigma pergerakan perempuan mengalami tiga fase, yakni :
1. Tingkatan Keperempuanan : Menyempurnakan diri perempuan kedalam ekses patriarchat (sempurnakanlah perempuan itu untuk lebih sempurna mengabdi pada laki-laki). Diprakarsai oleh Madam de Maintenon di Perancis & A.H. Francke di Jerman
2. Tingkatan pergerakan Feminisme : kesadaran perempuan akan hak sebagai manusia dan masyarakat. Mulai terjadi gerakan perlawanan maupun pembelaan yang menyuarakan akan kesama
an perlakuan dan hak antara laki-laki dan perempuan. Diprakarsai oleh
Gerakan pertama : Mercy Otis Weren & Abigail Smith Adams (Amerika), dengan menuntut perubahan UUD Amerika agar lebih demokratis antara laki-laki dan perempuan
Gerakan Kedua :  Olympe De Gouges (Perancis), dengan membentuk perserikatan perempuan dengan ribuan massa yang tergabung kemudian melakukan gerakan perlawanan atas kesamaan hak disegala bidang.
3. Mary Wollstonecraft (Inggris), dengan menerbitkan buku Vindication of the Rights of Woman (Pembelaan atas hak-hak perempuan).
3. Tingkatan Aksi Sosialis, Suatu gerakan yang ingin menciptakan suatu tatanan baru dimana antara laki-laki dan perempuan sama-sama bahagia tanpa pemerasan satu kelas oleh kelas lain. (Kedua sekse sama-sama berjuang menjadi mitra). Clara Zetkin (Jerman)
Kewajiban Sarinah dalam perjungan republik Indonesia
Kewajiban sarinah adalah mengisi revolusi nasional dari awal sampai akhir dan jangan
ketinggalan dalam menyusun masyarakat keadilan sosial dan masyarakat kesejahteraan sosial untuk menuju sosialisme indonesia. Sebab dalam masyarakat yang demikianlah sarinah-sarinah
Indonesia menemukan bahagianya sebagai perempuan yang merdeka. setidaknya Sarinah dapat menuntun kaum perempuan untuk menjadi wanita Indonesia dengan segala beban tanggung-jawabnya untuk negeri ini. Tentu saja untuk menjadi perempuan yang seutuhanya dalam kemerdekaan bangsa yang seutuhnya.









MERDEKA...!!!!
GMNI, JAYA.....
MARHAEN, MENANG....

Hidup Perempuan Indonesia....!!!!




[1]Lihat Mrx-Engles, 201..(thun terbit lupa), Jerman Ideologi, Yogyakarta: Pustaka Nusantara (alih bahasa oleh Nasikhun)
[2]Lihat Friedrich Engles, 2011, Asal Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara, Jakarta: Kalyanamitra (penerjemah Joesoef Isak)

Comments

Popular posts from this blog

Syarat uji korelasi

Definisi konsep Perencanaan sosial