Teori Pengembangan Wilayah dan Kawasan


1. Teori Lokasi Von Thunnen
Ilmu analisis lokasi dan pola keruangan erat kaitannya dalam ilmu perencanaan wilayah dan kota. Analisis ini merupakan salah satu perangkat untuk perencana guna menentukan apakah pemilihan lokasi atas pembangunan yang dilakukan sudah tepat.
Pengertian lokasi dijabarkan oleh teori Von Thunen, menurut beliau bahwa lokasi sebagai variable terikat yang mempengaruhi variable bebasnya seperti urban growth, perekonomian, politik, bahkan budaya masyarakat (gaya hidup). Teori ini dilandasi oleh pengamatannya terhadap daerah tempatnya tinggal yang merupakan lahan pertanian. Inti dari teori Von Thunen adalah teori lokasi pertanian yang menitikberatkan pada 2 hal utama tentang pola keruangan pertanian yaitu:
a.         Jarak lokasi pertanian ke pasar
b.        Sifat produk pertanian (keawetan, harga, beban angkut).
Dari teori tersebut disimpulkan bahwa harga sewa lahan pertanian nilainya tergantung tata guna lahannya. Lahan yang berada di dekat pusat kota akan lebih mahal di bandingkan lahan yang jauh dari pusat kota karena jarak yang makin jauh dari pusat kota/kegiatan, akan meningkatkan biaya transportasi.
Model Teori Lokasi Pertanian Von Thunen membandingkan hubungan antara biaya produksi, harga pasar dan biaya transportasi. Berikut adalah skema teori tersebut.
Teori Lokasi Von Thunen

Gambar model Von Thunen di atas dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu “isolated area” yang terdiri dari dataran yang “teratur”, yang kedua yaitu kondisi yang “telah dimodifikasi” (terdapat sungai yang dapat dilayari). Semua penggunaan tanah pertanian memaksimalkan produktifitasnya masing-masing, dimana dalam kasus ini bergantung pada lokasi dari pasar (pusat kota). Banyaknya kegiatan yang berpusat pada kota atau pusat pasar ini menjadikan kota memiliki nilai yang lebih ekonomis untuk mendapatkan keuntungan maksimal bagi para pelaku pertanian. Faktor jarak juga menentukan nilai suatu barang, semakin jauh jarak yang ditempuh oleh para petani maka biaya transportasi yang dikeluarkan akan semakin meningkat, sehingga para petani akan memilih untuk menyewa lahan yang lebih dekat dengan pusat pasar atau kota dengan harapan bisa mendapatkan nilai atau harga barang yang lebih tinggi tanpa harus mengeluarkan biaya transportasi yang tinggi.
Teori ini cukup relevan digunakan sebagai dasar dalam pengembangan dan pembangunan wilayah perbatasan di Indonesia khususnya melalui pengembangan transportasi karena karakteristik wilayah perbatasan di Indonesia memiliki jarak paling jauh dari pusat kota dan berperan sebagai wilayah penyedia bahan baku.
Namun seiring perkembangan ilmu dan kondisi dinamika pembangunan wilayah dan sangat cepat, maka teori ini dianggap tidak lagi valid dan relevan untuk diaplikasikan saat ini. Hal ini dikarenakan teori ini dibuat sebelum era industrialisasi, yang memiliki asumsi dasar bahwa kota terletak di tengah antara “daerah terisolasi” (isolated state), dikelilingi oleh hutan belantara, tanah yang datar, tidak terdapat sungai dan pegunungan, kualitas tanah dan iklim tetap, moda transportasi hanya berupa gerobak dan tidak terdapat jalan penghubung, serta petani yang mencari untung sebesar-besarnya. Asumsi-asumsi ini sudah pasti sulit diterapkan di era sekarang dimana sarana dan prasarana transportasi sudah sangat maju dan modern, alat angkut pertanian yang banyak dan murah. Oleh karena itu, teori Von Thunen ini tidak dapat sepenuhnya diterapkan saat ini meskipun perbedaan sewa lahan di wilayah kota cenderung dinilai lebih tinggi namun permasalahan mengenai biaya transportasi yang terjadi pada masa itu kini sudah tidak terlalu membebani para pelaku pertanian akibat kemajuan teknologi transportasi.
                                                           


2. TEORI ALFRED WEBER (Lokasi Optimum dan Aglomerasi Industri)
Alfred Weber, adalah seorang ekonom Jerman yang mengajar di Universitas Praha pada tahun 1904 hingga 1907 dan kemudian di Universitas Heidelberg (Jerman) pada 1907 – 1933, memiliki teori yang berkaitan dengan least cost location yang menyebutkan bahwa lokasi industri sebaiknya diletakkan di tempat yang memiliki biaya yang paling minimal. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum cenderung identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.
Dalam teorinya, Alfred Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya harus minimum. Menurut Weber, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu faktor tenaga kerja dan biaya transportasi yang merupakan faktor regional yang bersifat umum, serta faktor deglomerasi/aglomerasi yang bersifat lokal dan khusus. Weber berbasis kepada beberapa asumsi utama, antara lain:
a.         Lokasi bahan baku (sumber daya alam) ada di tempat tertentu saja, baik yang terbatas maupun yang tidak terbatas.
b.        Situasi dan ukuran tempat konsumsi adalah tertentu juga, sehingga terdapat suatu persaingan sempurna,
c.         Ada beberapa tempat pekerja yang bersifat tak mudah bergerak (immobile)
Weber juga menjelaskan mengenai adanya gelaja aglomerasi industri. Gejala aglomerasi merupakan pemusatan produksi di lokasi tertentu. Pemusatan produksi ini dapat terjadi dalam satu perusahaan atau dalam berbagai perusahaan yang mengusahakan berbagai produk. Gejala ini menarik industri dari lokasi biaya angkutan minimum, karena membawakan berbagai bentuk penghematan ekstern yang disebutaglomeration economies. Tentu saja perpindahan ini akan mengakibatkan kenaikan biaya angkutan, sehingga dilihat dari segi ini tidak lagi optimum. Oleh karena itu, industri tersebut baru akan pindah bila penghematan yang dibawa oleh aglomeration economies lebih besar daripada kenaikan biaya angkutan yang dibawakan kepindahan tersebut.
Pada intinya, teori Weber beranggapan bahwa lokasi akan optimal apabila pabrik berada di sentral, karena biaya transportasi dari manapun akan rendah. Biaya tersebut berkaitan dengan dua hal, yaitu transportasi bahan mentah yang didatangkan dari luar serta transportasi hasil produksi yang menuju ke pasaran.
Menurut Weber, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu faktor tenaga kerja dan biaya transportasi yang merupakan faktor regional yang bersifat umum, serta faktor deglomerasi/aglomerasi yang bersifat lokal dan khusus. Dalam menyusun konsepnya, Weber melakukan penyederhanaan dengan membayangkan adanya bentang lahan yang homogen dan datar, serta mengesampingkan upah buruh dan jangkauan pasaran. Dalam menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber menggunakan konsep segitiga lokasi atau locational triangle untuk memperoleh lokasi optimum. Untuk menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat ke lokasi bahan baku atau pasar.
Kelebihan dari teori ini yaitu lebih memaksimalkan keuntungan yang dapat diperoleh oleh sebuah industri. Akan tetapi teori ini memiliki kekurangan, yaitu berupa tidak diperhitungkannya biaya transportasi dan upah buruh/karyawan yang bekerja di industri tersebut.

3. Teori Tempat Sentral (Central Place Theory)
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Walter Cristaller seorang ahli geografi berkebangsaan Jerman pada tahun 1933. Menurut teori ini terdapat tiga pertanyaan yang harus dijawab tentang kota atau wilayah. Pertama, apakah yang menentukan banyaknya kota; kedua, apakah yang menentukan besarnya kota; dan ketiga, apakah yang menentukan persebaran kota.
Menurut Christaller terdapat konsep yang disebut jangkauan (range) dan ambang (treshold). Range adalah jarak yang perlu ditempuh manusia untuk mendapatkan barang kebutuhannya pada suatu waktu tertentu saja. Adapun treshold adalah jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk kelancaran dan keseimbangan suplai barang. Dalam teori ini diasumsikan pada suatu wilayah datar yang luas dihuni oleh sejumlah penduduk dengan kondisi yang merata. Dalam memenuhi kebutuhannya, penduduk memerlukan berbagai jenis barang dan jasa, seperti makanan, minuman, perlengkapan rumah tangga, pelayanan pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Untuk memperoleh kebutuhan tersebut penduduk harus menempuh jarak tertentu dari rumahnya. Jarak tempuh tersebut disebut range.
Di sisi lain, pihak penyedia barang dan jasa baik pertokoan maupun pusat-pusat pelayanan jasa untuk memperoleh keuntungan yang maksimal, maka mereka harus paham benar berapa banyak jumlah minimal penduduk (calon konsumen) yang diperlukan bagi kelancaran dan kesinambungan suplai barang atau jasa agar tidak mengalami kerugian. Dengan kata lain mereka harus memilih lokasi yang strategis, yaitu sebuah pusat pelayanan berbagai kebutuhan penduduk dalam jumlah partisipasi yang maksimum. Berdasarkan kepentingan ini maka untuk jenis barang kebutuhan dapat dibedakan menjadi barang kebutuhan dengan treshold tinggi dan barang kebutuhan dengan treshold rendah.
Treshold tinggi, yaitu barang kebutuhan yang memiliki risiko kerugian besar karena jenis barang atau jasa yang dijual adalah barang-barang mewah. Misalnya, kendaraan bermotor, perhiasan, dan barang-barang lainnya dengan harga relatif mahal dan sulit terjual. Untuk jenis barang seperti ini maka diperlukan lokasi yang sangat sentral seperti di kota besar yang relatif terjangkau oleh penduduk dari daerah sekitarnya. Selain itu, untuk menjaga kesinambungan suplai barang harus memenuhi syarat jumlah jumlah penduduk minimal.
Treshold rendah, yaitu barang kebutuhan yang memiliki risiko kecil atau tidak memerlukan konsumen terlalu banyak agar barang tersebut terjual, karena penduduk memang membutuhkannya setiap hari. Untuk jenis barang-barang seperti ini maka lokasi penjualannya dapat ditempatkan sampai pada kota-kota atau wilayah kecil.
Dari bentuk kebutuhan dan pelayanan di atas maka muncul istilah tempat sentral (Central Place Theory). Tempat sentral merupakan suatu lokasi yang senantiasa melayani berbagai kebutuhan penduduk dan terletak pada suatu tempat yang terpusat (sentral). Tempat ini memungkinkan partisipasi manusia dalam jumlah besar baik mereka yang terlibat dalam aktivitas pelayanan maupun yang menjadi konsumen dari barang-barang dan pelayanan yang dihasilkannya.
Menurut teori ini, tempat sentral merupakan suatu titik simpul dari suatu bentuk heksagonal atau segi enam. Daerah segi enam ini merupakan wilayah-wilayah yang penduduknya mampu terlayani oleh tempat yang sentral tersebut.


4. Teori Kutub Pertumbuhan
Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Poles Theory) disebut juga sebagai Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Centres Theory). Teori ini dikemukakan oleh Perroux pada tahun 1955. Dalam teori ini dinyatakan bahwa pembangunan kota atau wilayah di mana pun bukan merupakan suatu proses yang terjadi secara serentak, tetapi mucul di tempat-tempat tertentu dengan kecepatan dan intensitas yang berbeda-beda. Tempat-tempat atau kawasan yang menjadi pusat pembangunan tersebut dinamakan pusat-pusat atau kutub-kutub pertumbuhan. Dari kutub-kutub tersebut selanjutnya proses pembangunan akan menyebar ke wilayah-wilayah lain di sekitarnya atau ke pusat-pusat yang lebih rendah.
Setelah Perang Dunia Kedua (PD II) banyak negara-negara yang terlibat perang mengalami kemunduran ekonomi. Untuk membangun kembali negara dikembangkan konsep pembangunan wilayah atau kota yang disebut spread & trickling down (penjalaran dan penetesan) serta backwash and polarization. Konsep tersebut berasal dari pengembangan industri untuk meningkatkan pendapatan nasional kasar (Gross National Product = GNP). Konsep ini bertujuan untuk meningkatkan investasi pada satu kota tertentu yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan aktivitas kota. Dengan demikian akan semakin lebih banyak lagi penduduk yang terlibat dan pada akhirnya semakin banyak barang dan jasa yang dibutuhkan. Namun demikian, konsep ini kurang menunjukkan keberhasilan yang berarti. Karena cukup banyak kasus justru hanya menguntungkan kota. Kota yang tadinya diharapkan memberikan pengaruh kuat pada pedesaan untuk ikut berkembang bersama, kenyataannya sering merugikan pedesaan. Pada kenyataannya, yang terjadi adalah peningkatan arus urbanisasi dari dari desa ke kota dan memindahkan kemiskinan dari desa ke kota.
Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan adalah teori tata ruang ekonomi, dimana industri pendorong memiliki peranan awal dalam membangun sebuah pusat pertumbuhan. Industri pendorong ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut
1. Tingkat konsentrasi tinggi
2. Tingkat Teknologi Maju
3. Mendorong perkembangan industri di sekitarnya
4. Manajemen yang professional dan modern
5. sarana dan prasarana yang sudah lengkap
Konsep Growth pole dapat didefinisikan secara geografis dan fungsional
Secara geografis growth pole dapat digambarkan sebagai suatu lokasi yang memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menimbulkan daya tarik bagi berbagai kalangan untuk mendirikan berbagai macam usaha di daerah tersebut dan masyarakat senang memanfaatkan fasilitas tersebut.
Secara fungsional growth pole dapat diartikan sebagai suatu lokasi konsentrasi kelompok ekonomi (industri, bisnis dll) yang mengakibatkan pengaruh ekonomi ke dalam  maupun keluar wilayah tersebut.
Perroux menekankan pada dinamisme industri-industri dan aglomerasi industri-industri dibagian-bagian tata ruang geografis. Konsep kutub pertumbuhan dapat digunakan sebagai alat untuk mengamati gejala-gejala pembangunan, proses kegiatan-kegiatan ekonomi, timbul dan berkembangnya industri-industri pendorong serta peranan keuntungan-keuntungan aglomerasi. Secara esensial teori kutub pertumbuhan dikategorisasikan sebagai teori dinamis. Proses pertumbuhan digambarkan sebagian keadaan yang tidak seimbang karena adanya kesuksesan atau keberhasilan kutub-kutub dinamis. Inti pokok dari pertumbuhan wilayah terletak pada inovasi-inovasi yang terjadi pada perusahaan-perusahaan atau industri-industri berskala besar dan terdapatnya ketergantungan antar perusahaan atau industri.
Tiga ciri penting dari konsep pertumbuhan dapat dikemukakan, yaitu:
a.       Terdapat keterkaitan internal antara berbagai industri secara teknik dan ekonomi,
b.      Terdapat pengaruh multiplier,
c.       Terdapat konsentrasi geografis.
Di sekitar kutub geografis, pertumbuhan industri-industri yang menonjol dan kegiatan-kegiatan yang mempunyai keterkaitan dengan industri-industri tersebut lebih pesat dari pada di lokasi-lokasi lainnya, dan selanjutnya dari kutub tersebut manfaatnya akan menyebar ke seluruh pelosok wilayah.



5. Teori Kutub Pembangunan yang Terlokalisasi (Boudeville)
Teori Boudeville berusaha menjelaskan mengenai impak pembangunan dari adanya kutub-kutub pembangunan yang terlokalisasikan pada tata ruang geografis, sedangkan teori lokasi berusaha untuk menerangkan dimana kutub-kutub pembagunan fungsional berada atau dimana kutub-kutub dilokalisasikan pada waktu yang akan dating. Jadi untuk menjelaskan persoalan-persoalan kutub pembangunan harus ditunjang oleh teori-teori lokasi. Di antara teori lokasi, teori tempat sentral di anggap sebagai teori global yang menjelaskan mengenai ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan jasa sebagai akibat dari adanya pembagian kerja sacara spatial.
Teori Boudeville merupakan alat yang ampuh untuk menjelaskan tidak hanya mengenai pengelompokan geografis semata-mata, akan tetapi juga mengenai peristiwa-peristiwa geografis dan transmisi pembangunan di antara pengelompokan-pengelompokan yang bersangkutan.
Dalam aplikasi teori dan konsep kutub pertumbuhan dalam konteks geografis dan regional, nampaknya pendapat Boudeville dan konsep Perroux tidak searah. Perroux menganggap tata ruang secara abstrak, yang menekankan karakteristik-karakteristik regional tata ruang ekonomi. Menurut Boudeville, tata ruang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tata ruang geografis, dalam mengembangkan pemikirannya lebih lanjut, Boudeville menekankan pada tata ruang polarisasi. Tata ruang polarisasi dikaji dalam pengertian ketergantungan antara berbagai elemen yang terdapat didalamnya. Konsep ini erat berkaitan dengan pengertian hirarki, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk studi pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya.
Implikasi penting dari hubungan antara teori Boudeville dan teori tempat sentral dalam konteks perencanaan dan pengawasan pembangunan yang dihadapi oleh banyak negara dan dapat dikemukakan dua persoalan yang relevan yaitu: (1) bagaimana merintis proses pembangunan di wilayah-wilayah yang terbelakang secara terus menerus, dan (2) bagaimana mengarahkan proses urbanisasi sedemikian rupa dapat diciptakan distribusi pusat-pusat kota secara geografis yang mampu mendorong pembangunan selanjutnya.
Persoalan pertama merupakan salah satu usaha mengarahkan pengaruh-pengaruh pembangunan dari instalasi-instalasi yang didirikan pada unit-unit diwilayah terbelakang tersebut ketempat tertentu disekitarnya.
Persoalan kedua pada dasarnya merupakan usaha pemilihan lokasi yang tepat atau cocok untuk pendirian perusahaan-perusaan industri dan jasa. Lokasi-lokasi tersebut merupakan bagian-bagian dari kurub-kutub pembangunan.
           
6. DAMPAK TETESAN KEBAWAH DAN POLARISASI (HIRSCHMAN)

Albert O. Hirschman (1958) adalah seorang penganjur teori pertumbuhan tidak seimbang (unbalanced growth). Secara geografis, pertumbuhan ekonomi pasti tidak seimbang. Dalam proses pertumbuhan tidak seimbang selalu dapat dilihat bahwa kemajuan di suatu tempat (titik) menimbulkan tekanan-tekanan, ketegangan-ketegangan, dan dorongan-dorongan kea rah perkembangan pada tempat-tempat (titik-titik) berikutnya. Hirschman menyadari bahwa fungsi-fungsi ekonomi berbeda tingkat intesitasnya pada tempat-tempat originalnya sebelum disebarkan ke berbagai tempat lainnya. Ia menggunakan istilah titik pertumbuhan (growing point) atua pusat pertumbuhan (growing center) dan bukan kutub pertumbuhan (growth pole) seperti yang dipakai oleh Perroux dan ahli-ahli Perancis lainnya.
Di suatu negara terdapat beberapa titik pertumbuhan, dimana industri-industri berkelompok di tempat-tempat itu karena diperolehnya berbagai manfaat dalam bentuk penghematan-penghematan dan kemudahan-kemudahan. Kesempatan-kesempatan investasi, lapangan kerja, dan upah buruh yang relative tinggi, lebih banyak terdapat di pusat-pusat pertumbuhan dari pada di daerah-daerah belakang. Antara pusat dan daerah belakang terdapat ketergantungan dalam suplai barang dan tenaga kerja. Pengaruh polarisasi yang paling hebat adalah migrasi penduduk ke kota-kota besar (urbanisasi) akan dapat mengabsorsikan tenaga kerja yang terampil dan dilain pihak akan mengurangi pengangguran tidak kentara di daerah belakang. Hal ini tergantung pada tingkat komplementaritas antara dua tempat tersebut.
Jika komplementaritas kuat akan terjadi proses penyebaran pembangunan ke daerah-daerah belakang (trickling down effect), dan sebaliknya jika komplementaritas lemah akan terjadi dampak polarisasi (polarization effect). Jika polarisasi lebih kuat dari dampak penyebaran pembangunan maka akan timbul masyarakat dualistik yaitu selain memiliki ciri-ciri daerah perkotaan modern juga memiliki ciri-ciri daerah pedesaan terbelakang. Walaupun terlihat suatu kecendrungan yang suram, namun Hircsman optimis dan percaya bahwa pada akhirnya pengaruh tricking down akan mengatasi pengaruh polarisasi. Misalnya, jika daerah perkotaan harus mendorong perkembangan daerah pedesaan, tetapi apa yang terjadi mungkin tidak selancar seperti itu. Pada khususnya ada kemungkinan besar bahwa elastisitas penawaran jangka pendek di daerah pedesaan adalah sedemikian rendahnya sehingga dasar pertukaran ankan berubah merugikan daerah perkotaan. Dalam jangka panjang penghematan-penghematan eksternal dan tersedianya komplementaris di pusat-pusat akan menjamin penyebaran pembangunan ke daerah-daerah di sekitarnya.


7. TEORI DAERAH/WILAYAH INTI (JOHN FRIEDMANN)

John Friedmann (1964) menganilisis aspek-aspek tata ruang, lokasi, serta persoalan-persoalan kebijaksanaan dan perencanaan pengembangan wilayah dalam ruang lingkup yang lebih general, Di sekitar daerah inti terdapat daerah-daerah pinggiran atau periphery regions. Daerah-daerah pinggiran seringkali disebut pula daerah-daerah pedalaman atau daerah-daerah di sekitarnya.
Sehubungan dengan peranan daerah inti dalam pembangunan spasia, Friedmann mengemukakan lima buah preposisi utama, yaitu sebagai berikut:
a.       Daerah inti mengatur keterhubungan dan ketergantungan daerah-daerah disekitarnya melalui system suplai, pasar dan daerah administrasi,
b.      Daerah inti meneruskan secara sistematis dorongan-dorongan inovasi ke daerah-daerah di sekitarnya yang terletak dalam wilayah pengaruhnya,
c.       Sampai pada suatu titik tertentu pertumbuhan daerah inti cenderung mempunyai pengaruh positif dalm proses pembangunan system spasial.
d.      Dalam suatu system spasial, hararki daerah-daerah inti ditetapkan berdasar pada kedudukan fungsionalnya masing-masing meliputi karakteristik-karakteristiknya secara terperinci dan prestasinya.
e.       Kemungkinan inovasi akan ditingkatkan ke seluruh daerah system spasial dengan cara mengembangkan pertukaran informasi.



8.  Teori Pertumbuhan dari dalam (Internal)
Semua teori yang menggunakan pendekatan  internal growth bertolak dari pandangan bahwa inisiator dan motor pertumbuhan ekonomi suatu wilayah adalah perubahan-perubahan yang terjadi di dalam wilayah itu sendiri. Inisiatif biasanya muncul dalam bentuk penerapan teknologi baru atau penyempurnaan teknologi yang telah ada, misalnya: pembuatan jalan-jalan baru serta alat pengangkutan baru, penerapan alat produksi modern untuk menggali sumberdaya alam yang potensial, dan sebagainya.  Semakin lancar dan murahnya transportasi menumbuhkan perdagangan lokal menjadi lebih luas dan menimbulkan persaingan antar produsen. Banyak produsen di tempat-tempat yang semula terpencil dan tidak pernah tampak dalam perdagangan menjadi ikut aktif dalam persaingan.
Beberapa bukti menunjukkan adanya beberapa fase pertumbuhan ekonomi wilayah  dari  subsistem-economy tertutup sampai commercial-economi. Dalam pertumbuhan yang demikian hubungan perdagangan antar daerah untuk surplus produksi berkembang cepat setelah tiap jenis produksi telah dimenangkan oleh daerah tetentu. Proses mencapai kemenangan dalam persaingan untuk barang yang sejenis dapat diilustrasikan sebagai berikut. Semula menunjukkan keadaan awal dimana antara daerah X dan Y memperdagangkan komoditi yang sama, dengan kemampuan bersaing yang sama pula, karena baik sumberdaya potensialnya maupun ongkos produksi dan ongkos angkut barang sama, sehingga keduanya membagi daerah pasaran sama besar (a = ongkos produksi; t = kenaikan ongkos angkut sehubungan dengan jarak angkut; P = tinggi harga di suatu tempat = a + t + keuntungan yang wajar).
Perkembangan berikutnya menunjukkan adanya penerapan teknologi produksi baru di daerah X, sehingga ongkos produksi turun, dan dengan keuntungan wajar produsen X dapat menguasai pasaran yang lebih luas dari pada Y. Tahap selanjutnya X menerapkan teknologi baru pada alat pengangkutannya sehingga ongkos angkut turun dan dapat menguasai pasaran yang lebih luas dari pada Y. Jika X menerapkan teknologi baru baik pada alat prouksi maupun alat angkutnya, maka suatu saat daerah pasaran Y akan terserap ke dalam pasaran X, sehingga lambat laun Y musnah/gulung tikar dari pasaran.


9. Teori Pertumbuhan dari luar (Eksternal)
Teori-teori yang menggunakan pendekatan eksternal memandang bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi sebagai akibat dari perluasan ekspor ke wilayah lain. Keuntungan yang diterima dari ekspor ini mendorong pembangunan ekonomi di wilayah pengekspor tersebut. Mereka menunjukkan bahwa banyak wilayah-wilayah di dunia yang perekonomiannya telah berkembang sebagai akibat investasi modal atau eksploitasi dari pihak luar. Karena kekayaan sumberdaya alam suatu wilayah, misalnya modal dan teknologi asing tertarik dan masuk ke wilayah itu. Perdagangan antar wilayah (ekspor-impor) menjadi motor pertumbuhan ekonomi selanjutnya.  Wilayah-wilayah yang pola pertumbuhan ekonominya menerapkan pendekatan eksternal boleh jadi lebih cepat maju, tetapi kurang stabil dan lebih tergantung nasibnya kepada wilayah lain. Dalam kenyataan kedua pola (internal dan eksternal) tersebut dewasa ini diterapkan secara simultan pada hampir setiap wilayah di negara yang sedang berkembang.

Comments

Popular posts from this blog

Syarat uji korelasi

Pengantar Kesarinahan

Definisi konsep Perencanaan sosial