Perempuan Bangkit Menyuarakan Ketertindasan
Perempuan Bangkit Menyuarakan Ketertindasan
Hari
Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April 2018, merupakan hari yang cukup
bersejarah bagi bangsa Indonesia. Hari Kartini merupakan representasi dari
perjuangan tokoh perempuan yang mulai menyuarakan hak-hak perempuan dibidang
Pendidikan. Sebab sebagai perempuan yang akan menjadi pendidik bagi putra-putri
bangsa, haruslah perempuan yang cerdas, berakhlak mulia dan juga merdeka dari
segala keterkunkungan. Perempuan adalah Fondasi dari suatu bangsa, untuk itu sudah
selayaknya mereka dimerdekakan dari segala sistem yang membelit mereka dari
bara perapian.
Segala hak-hak yang diperoleh oleh perempuan hari
ini bukan atas dasar iba dan semata-mata pemberian, melainkan hasil perjuangan
yang panjang dan berdarah-darah. Hal demikian membuktikan bahawa perempuan dan
laki-laki tidak memiliki perbedaan secara hak dan kapasitas, keduanya hanya
dibedakan secara fungsi biologis. Masalah perempuan adalah masalah masyarakat,
laki-laki dan perempuan merupakan bagian dari masyarakat. Hal ini dapat
diperkuat dari makna persoalan gender. Sejauh persoalan perempuan dipandang
sebagai persoalan gender, maka persoalan perempuan berarti adalah persoalan
sosio-kultural dan oleh karenanya pasti persoalan masyarakat. Melihat persoalan
perempuan terlepas dari persoalan masyarakat hanya akan mempertajam keretakan
dalam kemanusiaan itu sendiri. Sudah pasti pula, akan sulit menemukan solusi
yang ingin diajukan.
Adapun runtutan kegiatan dari Organisasi Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) STPMD “APMD” Yogyakarta dalam memperingati
hari kartini, yakni dengan melakukan aksi sosial untuk menyuarakan segala
bentuk problematika yang dialami perempuan hari ini untuk kemudian memberikan
edukasi bagi perempuan-perempuan yang ada ditanah air. Pada Kegiatan ini
Komisariat GMNI STPMD “APMD” Yogyakrta mencoba mengangkat tema “Perempuan
dan Kebudayaan”.
Sebelum melangkah pada pembahasan tema diatas, maka kami
mencoba menggunakan motif ekonomi sebagai basis anilisis masalah, yakni sebagai
berikut :
Sejarah
Ketertindasan Perempuan: Motif Ekonomi
Jika perempuan dan laki-laki terikat
secara kodrati, lantas mengapa terjadi ketertindasan terhadap perempuan?
Mengapa pula, harus melihat persoalan perempuan sebagai persoalan masyarakat,
bukankah masyarakat pula yang mengakibatkannya? Bukankah dalam hal ini yang
tertindas adalah perempuan? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
diperlukan mengikuti analisis yang juga digunakan oleh Soekarno dalam Sarinah. Dalam Sarinah, Soekarno menggunakan analisa materialisme historis. Beliau
mengikuti pemikiri-pemikir besar Marxisme dalam melihat persoalan perempuan,
seperti August Babel, Henriette Roland Holst dan Friedrich Engels.
Materialisme
historis memiliki premis dasar bahwa sejarah manusia dibentuk oleh sejarah
material dengan dikutum basis (ekonomi)
yang mengkondisikan suprasrtuktur (kesadaran, politik, budaya, dll). Dari
kerangka ini kemudian Soekarno menganalisis dan menemukan akar sebab
ketertindasan perempuan. Perempuan dan laki-laki pada mulanya hanya dibedakan
oleh bentuk fisik. Akan tetapi kemudian menjelma menjadi persoalan Gender,
dimana perempuan ‘disingkirkan’, akibat pembagian kerja.
Pembahasan
:
Perempuan dan
Kebudayaan
Pada Sub bahasan ini, kami mencoba mengangkat
problematika perempuan dalam suatu kebudayan yang dilakukan dalam bermasyarakat.
Pola kebiasan tersebut meliputi bagaimana perempuan berperilaku, bagaimana cara
berpikir seorang perempuan dan bagaimana seorang perempuan menempatkan diri
dalam tatanan sosial yang ada di masyarakat.
Pertama, dari segi perempuan berperilaku, kami
membayangkan perempuan yang sudah memiliki hak-hak dalam berbagai bidang yang
cukup banyak jika dibandingkan dengan perempuan-perempuan Zaman dulu. Hal
tersebut semestinya patut di hargai dan disyukuri oleh seorang perempuan
kemudian dijunjung tinggi oleh kaum laki-laki. Sehingga sudah sepantasnya
perempuan yang menjadi penerus api juang para pendahulunya mencerminkan
perilakunya, sebagai perempuan yang merdeka dalam pikiran dan enggan tinggal
dalam kebudayaan nenek moyangnya, ia harus menjadi perempuan yang mandiri dalam
menemukan dunia yang lebih luas. Harapan tersebut tetaplah menjadi utopia bagi
sebagian perempuan Indonesia.
Kedua, cara berpikir seorang perempuan : akses
pendidikan yang telah diterima semestinya membuat seorang perempuan menjadi
semakin cerdas dan cakap disegala bidang., namun akses yang didapatkan justru
tidak menjadi jaminan. Pemikiran perempuan hari ini telah terhegemoni terhadap
hal-hal yang fana. Semakin modern namun justru semakin mengerikan ketertindasan
yang terjadi terhadap perempuan, jika dulu perempuan terkunkung dengan bara
perapian hari ini perempuan terkunkung oleh pola pikir mereka sendiri. Maraknya
media massa yang menjadikan perempuan sebagai objek konsumsi public.
Mereka mencoba membangkitkan dan
menginternalisasikan sebuah mitos kecantikan terhadap pikiran perempuan, dan
ini lebih berbahaya dari pada apa yang dibayangkan. Industri kecantikan mencoba
menguasai media massa sebagai alat tempur untuk melemahkan daya kritis seorang
perempuan. Mereka ciptakan dalam mitos kecantikan perempuan dengan visualisasi
fisik yang telah di design sempurna sehingga mereka ciptakan pula definisi
kecantikan yang wajib dimiliki seorang perempuan. Tidak berhenti disitu mereka
membuat berbagai variasi kecantikan yang bisa dimiliki seorang perempuan semisal
perempuan bergaya seksi, perempuan bergaya sensual, perempuan bergaya casual,
perempuan bergaya nyentrik dan sebagainya. Mereka terus mengubahnya dengan
berbagai definisi dan karakteristik. Kemudian mereka menciptakan iri dan dengki
dihati sesama perempuan dengan membuat tulisan “Perempuan yang gendut, berkulit
hitam dan pendek itu tidak menarik, Yuk pakai produk ini”, sehingga siapa saja
yang melihatmya akan timbul keinginan diri untuk mencapai hal yang lebih
sempurna menurut industri kecantikan.
Pada akhirnya segala jalan ditempuh dan berlomba-lomba
untuk dapat tampil lebih menarik dari perempuan-perempuan yang lain. Hal
demikian menunjukkan betapa lemahnya perempuan dalam mendayagunakan pikiranya,
bagaimana mungkin suatu definisi diciptakan untuk mengutuk kesempurnaan yang
Tuhan telah berikan kepada kaum perempuan.
Ketiga, seorang perempuan menempatkan diri dalam
tatanan sosial: terkadang perempuan sering mengalami keretakkan ketika
menempatkan peran dia sebagai seorang perempuan dimasyarakat. Tuntutan ekonomi
terkadang memaksa perempuan bekerja keluar rumah. Kemudian munculah pandangan
sinis dari masyarakat jika melihat perempuan lebih memilih berkarir
dibandingkan mengurus rumah dan anak. Stigma negatif ini diciptakan selama
berabad-abad oleh kondisi sosio-kultur, kemudian semakin diperkuat dengan
penafsiran agama yang mengkondisikan laki-laki sebagai imam bagi perempuan,
yang terkadang salah dimaknai oleh sebagian orang. Meskipun hari ini wanita
karir telah mendapat pengakuan dari masyarakat namun membuat konsekuensi baru
yang mewajibkan perempuan menjalani fungsi ganda dengan beban kerja yang lebih
panjang dan melelahkan.
MERDEKA…………...……!!!
GMNI-JAYA….....................!!!
MARHAEN- MENANG……!!!
Comments
Post a Comment